Kendati usianya masih muda, Riyadh Ramadhan sudah berani memulai usaha.
Di usia 19 tahun, ia sudah memiliki bisnis gorengan di Surabaya dengan
omzet ratusan juta per bulan. Bisnis ini dirintisnya tahun 2009, saat ia
masih berusia 16 tahun.
Saat itu, ia baru duduk di kelas satu
sekolah menengah atas (SMA). Lantaran usianya yang masih belia, ia
pernah dinobatkan sebagai Entrepreneur Termuda 2010 versi Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Riyadh memulai bisnis secara
autodidak. Semua berawal dari kegemarannya memasak. Suatu ketika, naluri
bisnisnya bangkit setelah melihat peluang usaha gorengan. "Saya melihat
di Surabaya banyak penjual gorengan, lalu saya berpikir untuk membikin
sendiri," kata Riyadh.
Keinginan untuk berbisnis itu kemudian
diutarakannya kepada kedua orangtuanya. Walau masih muda, orangtua
Riyadh menyambut baik keinginan anaknya itu untuk berbisnis. Kebetulan,
orangtua Riyadh memang memiliki jiwa bisnis.
Mereka berprofesi
sebagai wiraswasta. Namun, usaha yang mereka kelola bukan bergerak di
bidang makanan. "Mereka mengelola lembaga pendidikan," ujar Riyadh.
Tekad
Riyadh Ramadhan untuk memiliki bisnis di usia muda sangat kuat. Karena
tekad yang kuat itu, ia pun tak risih meski harus harus memulai usaha
dari menjajakan gorengan di sekolahnya.
Riyadh memang mengawali
kesuksesan bisnisnya sebagai penjual gorengan. Pertama menjadi penjual
gorengan, dia membidik teman-teman sekelasnya sebagai konsumen.
Setiap jam istirahat sekolah, Riyadh tidak sungkan mengeluarkan dagangan yang ia bawa setiap hari dari rumah.
Sebagai remaja yang baru duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA),
sebenarnya dia agak canggung dan malu berjualan di sekolahnya.
Apalagi,
Riyadh juga sering menjadi bahan olok-olokan dari teman-teman
sekolahnya. "Beberapa nada sumbang berupa ejekan sempat terdengar dari
teman," kenangnya.
Bukannya berhenti, makin lama makin banyak
teman yang mengejeknya sebagai penjual gorengan. Awalnya, ia sempat
minder dan ingin mundur dari bisnisnya itu.
Namun, Riyadh tetap
berpikir positif bahwa apa yang ia lakukan sudah tepat. Lagi pula, dia
merasa tidak ada yang dirugikan dari bisnisnya itu.
Sementara bila
mundur, keinginannya untuk memiliki usaha akan pupus. "Orangtua saya
juga sering menguatkan mental saya untuk tidak mundur hanya karena
mendapat ejekan dari teman," ujarnya.
Orangtua saya juga sering menguatkan mental saya untuk tidak mundur hanya karena mendapat ejekan dari teman
Atas
dorongan orang tuanya, Riyadh berusaha membuang jauh-jauh semua
perasaan sakit hati yang ia alami di sekolah. Namun, seiring berjalannya
waktu, justru banyak temannya yang mulai menyukai gorengannya.
Bahkan,teman-teman yang tidak sekelas dengannya juga ikutan meminati
gorengan buatan Riyadh.
Lantaran pesanan gorengannya makin
banyak, ia selalu berusaha bangun tidur lebih awal untuk mempersiapakan
dagangannya. Riyadh selalu bangun tidur jam tiga dinihari setiap hari.
Di pagi buta itu, dia menyiapkan semua bahan yang diperlukan, termasuk
meracik sendiri tepung gorengannya. "Saya menjalani semuanya dengan
semangat," katanya.
Selama setahun menjajakan gorengan di
sekolah, ia pun mulai terpikir untuk mengembangkan usahanya. Hingga
suatu saat Riyadh menemukan ide untuk membuka kafe di mal.
Lagi-lagi,
orangtuanya mendukung penuh rencananya tersebut. Berbekal keuntungan
usaha selama setahun serta sokongan dana dari orangtuanya, Riyadh pun
mulai merintis pendirian kafe di salah satu mal di Surabaya.
Riyadh
memberi nama kafe itu
Go Crunz, yang sampai sekarang masih menjadi
label usahanya. Di kafe itu ia menyediakan menu gorengan, seperti
kentang, jamur, ayam, dan otak-otak ikan. Selain gorengan, ia juga
menyediakan beragam pilihan minuman. Tak ingin mengecewakan orangtua
yang sudah mendukungnya dan juga tanggung jawab terhadap diri sendiri
karena uang tabungannya ludes untuk modal usaha, Riyadh pun total di
bisnis ini.
Dengan label Go Crunz, ia menawarkan menu gorengan,
seperti kentang, jamur, dan ayam, hingga otak-otak ikan. "Total ada
sembilan menu gorengan," katanya.
Gorengan itu dibanderol Rp
6.000-Rp 9.000 per kotak. Setiap kotak berisi empat sampai lima
gorengan. Ternyata, banyak yang menyukai gorengan buatan Riyadh. Lalu
dia membuka dua gerai lagi dengan konsep booth.
Dari ketiga gerai
itu, total omzet yang didapatnya mencapai Rp 120 juta per bulan, dengan
laba sekitar 40 persen dari omzet. Lantaran respon pasar positif, sejak
tahun 2010, Riyadh resmi menawarkan kemitraan usaha. Saat ini, jumlah
gerainya sudah 12 gerai.Perinciannya, tiga milik sendiri dan sisanya
milik mitra. Mitra usahanya itu tersebar di beberapa kota, seperti
Jakarta, Bekasi, Malang, hingga Balikpapan.
Dalam kemitraan ini,
ia menawarkan dua paket investasi. Yakni, paket booth sebesar Rp 39 juta
dan paket kafe Rp 110 juta. Berdasarkan pengalamannya, omzet paket
booth ditargetkan Rp 500.000-Rp 700.000 per hari. Sementara paket kafe
Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari.Dalam kemitraan ini, ia memasok bumbu dan
kemasan kepada seluruh mitra bisnisnya.
Guna mengembangkan
usahanya, ia kemudian menawarkan kemitraan pada Oktober 2010. Guna
menjaring mitra, Riyadh rajin mengikuti pameran waralaba di
daerahnya.Kerja kerasnya tidak sia-sia. Di bulan pertama menawarkan
kemitraan, ia sukses menjaring tujuh mitra.
Sukses di usia muda
mungkin menjadi impian banyak orang, begitupun Riyadh Ramadhan. Ia tak
menyangka, bisnisnya akan tumbuh cepat. Toh begitu, tak mudah membangun
bisnis di usia belia.
Riyadh mengaku banyak kendala yang ia
hadapi. Misal, ia sempat kesulitan membuat sistem manajerial usaha yang
baik. Alhasil, ia sering gonta-ganti karyawan lantaran kinerja
pegawainya tak memuaskan. "Karena usia saya yang lebih muda, banyak
karyawan yang tak menghormati saya sebagai pimpinan, sehingga kinerja
mereka tak maksimal," terangnya.
Tak kehabisan akal, Riyadh pun
rajin melahap buku mengenai manajemen dan kepemimpinan. Ia pun kerap
mengikuti ajang entrepreneurship bagi anak muda seusianya.
Meski
tak menyabet predikat sebagai juara, Riyadh tak berkecil hati. "Tujuan
utamanya bukan juara, tapi lebih pada pembelajaran karakter dan jiwa
kepemimpinan dari para pengusaha muda," ungkapnya.
Bukan sekadar
memetik ilmu, dari ajang kompetisi itu Riyadh juga bisa membuka jaringan
yang lebih luas. Dari situ, ia mulai belajar akan pentingnya manajerial
usaha agar usaha makin berkembang. "Dalam usaha, pemasaran memang
penting tapi belajar menjadi seorang pimpinan yang baik juga tak kalah
penting," katanya.
Dari kompetisi tersebut, Riyadh mengaku pikirannya kian terbuka. Masih banyak pekerjaan
rumah yang harus ia benahi, terutama manajemen usaha. Hal utama yang langsung Riyadh lakukan adalah mengubah gaya kepemimpinannya.
Riyadh
bilang, ia sekarang lebih tegas namun bukan berarti berubah jadi
pribadi yang galak dan ditakuti karyawannya. Selain itu, ia mencoba
menerapkan metode kekeluargaan dalam manajemen Go Crunz.
Dengan
perubahan gaya kepemimpinan itu, sekarang manajemen usahanya jauh lebih
solid. "Dalam beberapa bulan terakhir, tidak ada lagi gonta-ganti
karyawan," jelasnya.
Bukan itu saja, menyadari bahwa ia adalah
principal dari sebuah brand yang juga melibatkan orang lain, Riyadh
menganggap semua mitra usahanya merupakan saudara dekatnya. Hal ini pula
yang membuat dia cenderung lebih selektif memilih mitra usaha.
Salah
satu patokannya memilih mitra adalah merasa klop saat pertama kali
bertemu dengan calon mitra. "Jadi ada chemistry dalam berkomunikasi,"
ungkap mahasiswa jurusan Desain Manajemen IBMT International University
ini.
Insting itulah yang akhirnya membuat Riyadh memiliki
sembilan mitra. Dia mengklaim semuanya loyal dan memenuhi ekspektasi
membesarkan franchise Go Crunz.
Kendati bisnisnya makin
mengembang, tak membuat Riyadh cepat puas. Ia mengatakan, masih harus
terus belajar agar usaha kian membesar. Ia pun menyimpan mimpi bahwa
merek Go Crunz dalam beberapa tahun ke depan bisa go international
seperti Kebab Baba Rafi milik Hendy Setiono. Ia menyebut Hendy sebagai
mentor andal dan telah menginspirasi dirinya.