FIKRI-TEKNIK.com - Semenjak dulu, Ambar Murtilina (38)
memang bercita-cita menjadi pengusaha sukses. Tetapi semua itu baru
terwujud setelah ia lulus kuliah dan bekerja di perusahaan swasta. Lina
menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 4 dengan Jurusan Tata
Boga di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Setelah lulus sekolah,
Lina -begitu perempuan ini disapa- melanjutkan ke Akademi Perhotelan di
Universitas Sahid, Jakarta. Berbeda dengan teman-temannya, Lina
tergolong mahasiswa yang tak betah berdiam diri. Waktu senggang kuliah
ia pakai untuk bekerja di salah satu pasar swalayan sebagai tenaga
marketing. Keluwesan dan ketekunan inilah yang membuat Lina cepat
mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah.
Ia bekerja di perusahaan
bakery ternama yang memproduksi donat. Namun begitu, ia merasa tidak
betah. Pasalnya, perusahaan tersebut menempatkan Lina pada posisi
marketing. “Padahal saya lebih suka di bagian produksi donat,” jelasnya.
Setahun
kemudian Lina pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia bertekad
untuk memulai bisnis. “Yang terpikir saat itu hanyalah bisnis warung
nasi,” jelasnya. Tanpa pikir panjang, Lina pun membuat warung nasi tak
jauh dari rumahnya. Namun sayang, bisnis ini hanya bertahan enam bulan.
Warung nasinya tutup dan ia pun merugi.
Lina tidak menyerah. Pada
tahun 2009 ia mendapat kabar mengenai pelatihan cara pembuatan roti di
UKMKU asuhan Wulan Ayodya. “Kebetulan saya memang suka dengan roti, dan
saya ingin tahu bagaimana cara pembuatannya,” ceritanya.
Dari
situlah kemudian Lina berpikir untuk membangun bisnis roti. Menurutnya,
roti itu makanan yang disukai oleh semua orang, dari anak kecil sampai
orang dewasa. “Tapi, bukan berarti membuat bisnis roti itu mudah.
Apalagi saya merupakan pendatang baru yang harus bersaing dengan merek
roti lainnya,” jelasnya.
Lina pun membuat pembeda di bisnisnya
ini. Ia membuat roti tanpa bahan pengawet dan harga yang murah. “Karena
setahu saya saat ini banyak roti yang menggunakan bahan pengawet, dan
harganya mahal. Nah, saya ingin beda dari yang lain,” tuturnya.
Bisnis
roti Lina resmi berdiri pada 4 Maret 2009 dengan modal Rp 100.000. Uang
itu ia belikan untuk terigu dan aneka selai. “Ternyata uang Rp 100.000
itu bisa untuk membuat roti selama seminggu,” jelasnya.
Lina baru
tahu ternyata membuat roti tidak memerlukan banyak terigu. Di hari
pertama produksi misalnya, ia hanya menghabiskan 1 kg tepung. “Dari 1 kg
tepung itu saya bisa membuat 45 buah roti,” ucapnya.
Terus berkembang
Setiap
hari, produksi roti Lina semakin bertambah. Dari 1 kg per hari, terus
bertambah hingga 10 kg per hari. Roti-roti yang sudah diproduksi ia
kirim ke warung-warung terdekat untuk dijual. Di sinilah Lina kerap
mendapatkan cobaan. Roti buatannya kerap ditolak. Apalagi ketika
mendengar roti tersebut dibuat di rumah. “Hah, roti rumahan? Pasti aneh
rasanya,” begitu kata orang-orang pada awal ia menitip jual roti.
Para
pemilik warung selama ini juga sudah terbiasa dengan roti buatan
pabrik. “Ketika mendengar roti rumahan mereka langsung (menganggapnya)
aneh,” jelas Lina. Dari 15 warung yang didatangi olehnya, hanya lima
warung yang bersedia dititipi roti. Padahal Lina sudah memberikan contoh
roti untuk dicoba secara cuma-cuma. “Namun mereka tetap tidak mau,”
katanya.
Lina tak mau putus asa. Ia tetap mencari warung-warung
lain yang mau menerima roti buatannya. Dari 20 roti yang dititipkan di
satu warung, hanya satu atau dua roti yang laku. Selebihnya si pemilik
warung memulangkan roti-roti tersebut. Kondisi ini tak berjalan lama.
Lina justru semakin bangkit dan terus memperbaiki kualitas rasa roti
tersebut. Hasilnya sangat mengejutkan.
Roti-roti itu habis
terjual. Sampai-sampai si pemilik warung meminta Lina untuk mengirimkan
kembali roti-roti tersebut. Berhubung banyak permintaan, akhirnya
warung-warung yang sempat menolak roti buatan Lina pun berubah pikiran.
“Mereka segera menghubungi saya dan minta dikirim roti,” ceritanya
sambil tersenyum.
Berhubung permintaan semakin tinggi, Lina pun
mulai keteteran. “Setiap hari saya mendapat telepon bertubi-tubi,
pesannya hanya satu: mereka minta dikirimi roti segera,” kata perempuan
kelahiran Jakarta, 2 Juni 1974 ini.
Mau tidak mau, Lina pun
mengganti cara produksi roti tersebut. Ia mulai memproduksi dengan
jumlah yang besar. Tak hanya itu, ia juga mengemas roti-roti itu dalam
plastik bening agar terjaga kebersihannya. Setiap mengantar roti Lina
akan bertanya kepada pemilik warung, apa saja kekurangan pada produknya.
“Dari situ saya terus belajar dan belajar untuk menghasilkan roti yang
lezat,” jelasnya.
Ia juga membuat inovasi dalam varian rasa roti.
Tak hanya roti cokelat, kacang hijau, kelapa, dan stroberi, ia juga
membuat roti piza. Roti berbentuk makanan khas Italia ini dibuat mungil.
Rencananya ia akan memproduksi massal roti piza setelah Lebaran tahun
ini.
“Awalnya coba-coba tapi ternyata peminatnya banyak,” tuturnya sabil tersenyum.
Tak
hanya varian rasa yang akan dikembangkan oleh Lina, ia juga menargetkan
distributor roti-roti buatannya. “Kalau bisa tahun ini 70 warung yang
menjual roti buatan saya. Saya yakin pasti berhasil,” tutupnya.