Adsense

Selasa, 22 Oktober 2013

Menu Engineering (Bagian 1) “Menggiring” Pelanggan dalam Memilih Menu

Jika Anda pernah ke salah satu resto sushi terbesar di Jakarta, maka kemungkinan besar Anda akan “digiring” untuk memilih menu all you can eat (AYCE) mereka. Tentu saja kita tidak sedang membicarakan sihir, hipnotis atau semacamnya. Yang mereka lakukan adalah mendesain menu secara strategis sehingga pelanggan akan memilih menu yang mereka inginkan (baca: menu yang profitnya paling besar bagi perusahaan). Ini adalah ilmu interdisipliner modern dinamakan “Menu Engineering”.
Kembali ke kasus resto sushi tadi. Untuk menu AYCE, 1 orang akan dikenakan biaya Rp 200.000++ belum termasuk minum. Ada banyak menu yang bisa dipilih untuk AYCE mulai dari hand roll, roll, beberapa menu sashimi dan grill, tetapi ada beberapa item seperti octopus, nigiri unagi dan fatty tuna yang tidak termasuk dalam paket ini. Lalu mengapa kebanyakan pelanggan memilih AYCE yang sebenarnya relatif mahal ini daripada menu a la carte?
Mari kita lihat harga satuan menu-menu tersebut. Harga satu menu salmon salad yang terdiri dari sekitar 4-5 daging salmon mentah dengan saus salad adalah sekitar Rp 55.000, menu sushi and sashimi combo adalah Rp 160.000. Beberapa menu lain seperti hand roll dan sushi roll kisaran harganya mulai dari Rp 25.000 – Rp 90.000. Harap diingat bahwa untuk menu sushi, Anda tidak akan kenyang hanya dengan memesan 2 atau 3 menu. Sedangkan untuk menu AYCE, semua menu-menu tersebut dapat Anda pesan sepuasnya! Dengan demikian Anda seolah-olah “dipaksa” untuk memilih menu AYCE agar tidak merasa rugi.
Jadi, berapa biaya total yang harus Anda bayar untuk menu a la carte ini? Setelah melakukan perhitungan, kami harus mengeluarkan lebih dari Rp 750.000 untuk makan berdua, sedangkan untuk menu AYCE, kami hanya mengeluarkan Rp 500.000. Dengan perhitungan seperti ini, pelanggan akan merasa “beruntung” karena dapat menghemat Rp 250.000++, padahal untuk sekali makan, harga Rp 250.000/orang itu pun sebenarnya sudah mahal.
Inilah yang disebut dengan “perceived value”, opini dari pelanggan akan nilai dari suatu produk yang sedikit atau malah tidak ada hubungannya sama sekali dengan harga. Mark Todd, seorang konsultan kuliner memberi contoh pada kasus pizza. “ Perceived value dari pengunjung akan lebih besar apabila mereka mendapat 3 loyang pizza kecil dengan 3 variasi topping dibandingkan dengan 1 loyang pizza besar meskipun harga modal dan harga jualnya sama”, jelas Mark (bersambung). Sumber : BCC Indonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan kritik dan saran untuk artikel ini. Terima kasih telah membaca artikel saya.