Adsense

Kamis, 31 Mei 2012

SUSU LISTRIK : KARYA INOVATIF DARI ANAK MUDA MALANG




Banyak sekali inovasi yang berawal bukan dari hal-hal yang rumit dan membuat alis berkerut. Inovasi yang sukses justru biasanya berawal dari solusi-solusi sederhana yang efektif dan memberikan dampak besar pada perbaikan kualitas hidup orang banyak.

Itulah kira-kira yang menjadi pesan yang ingin disampaikan oleh Hadi Apriliawan saat memikirkan sebuah solusi bagi masalah sehari-hari yang dihadapi oleh orang tuanya dan tetangganya yang mayoritas adalah para peternak sapi perah di Perum Pondok Alam Sigura-Gura, Malang, Jatim. Susu yang menjadi komoditas sehari-hari yang bisa dipanen peternak ini mudah menjadi basi saat tidak diberikan perlakuan tambahan. “Saya tergerak untuk memecahkan masalah tersebut karena itu yang menjadi keluhan sehari-hari orang-orang di sekitar saya termasuk orang tua saya,” paparnya.

Hadi yang masih berusia 22 tahun ini kemudian memulai bekerja merancang sebuah solusi. Ia kemudian berhasil menelurkan suatu prosedur teknis yang kemudian ia namai sebagai “Susu Listrik” atau yang sering disingkat Sulis. Susu Listrik ini merupakan produk dari alat hasil rancangannya yang diberi nama laban elektrik. Teknologinya berbeda dari yang lain seperti Pasteurisasi yang menggunakan panas karena tidak melibatkan panas. Dengan demikian, menurut Hadi, akan ada lebih sedikit zat gizi dalam susu yang rusak atau hilang.


Keikutsertaannya dalam kontes Technopreneurship 2011 yang diadakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)  juga membuat teknologi ini lebih banyak dikenal pelaku usaha peternakan sapi perah yang menginginkan agar susu sapi mereka lebih panjang masa konsumsinya. “Inovasi ini makin banyak dilirik oleh peternak sapi di seluruh tanah air,” ujar Hadi dengan nada bangga.

Berkat kemenangannya dalam event tersebut, Hadi dan kawan-kawannya tergabung dalam CV Inovasi Anak Negeri (susulistrik.com) ini berhasil sabet hadiah berupa dana sebesar Rp 150 juta. Beberapa waktu lalu, Hadi juga turut serta dalam lomba Global Innovation through Science and Technology yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab.(*AP)

Senin, 28 Mei 2012

Mas Mono, Pengusaha Kuliner Peraih Asia Pasifik Entrepreneur Award

Perjuangan tidak kenal lelah Agus Pramono berbuah manis. Anak tukang gulali di Madiun, Jawa Timur, itu berhasil mengembangkan usaha di tengah kejamnya hidup di ibu kota. Kini, pria yang akrab disapa Mas Mono ini dikenal sebagai pengusaha kuliner ayam bakar.

masmono0312Saat ini sudah 29 outlet resto milik Mono yang jalan dengan omzet ratusan juta per bulan. ”Saya juga baru ekspansi ke bakso, namanya moncrot,” ujarnya seperti dilansir padangekspres.com.

Tidak hanya itu, Mono juga punya biro travel umrah dan haji, dua taman kanak-kanak Islam terpadu, serta bisnis jasa katering. Total karyawan Mono 1.020 orang.

Mono lantas mengeluarkan buku karyanya berjudul "Rezeki Diantar." Buku itu belum diluncurkan secara resmi. Tapi sudah beredar di kalangan teman-teman bisnisnya. ”Alhamdulillah, yang pesan sudah lebih dari 10 ribu,” katanya.

Sukses Mono tidak datang dengan sendirinya. Namun, lewat perjuangan keras. Merantau ke Jakarta setelah lulus SMA dari Madiun, Mono numpang di rumah kontrakan kakaknya di kawasan Bendungan Hilir. Dia sempat magang di sebuah restoran cepat saji asal AS. Namun, badai krisis moneter pada 1997-1998 membuat perusahaan tempat dia bekerja melakukan PHK besar-besaran. Mono termasuk korbannya.

Tapi, Mono tidak menyerah. Setelah melamar ke berbagai tempat, anak kelima di antara enam bersaudara itu diterima sebagai office boy di sebuah kantor. ”Pekerjaannya ngepel, bikin kopi, sampai antar surat. Pokoknya, semua saya lakoni,” katanya.

Di waktu senggang, Mono minta diajari teman kantornya memakai komputer. ”Saya belajar dari nol,” kata pria yang sering dipanggil Bondet oleh teman kecilnya di Madiun itu. Medio 2001, Mono mengambil keputusan besar. Dia berhenti dari pekerjaannya dan ganti haluan dengan berdagang gorengan. ”Saya pinjam gerobak dorong, ternyata ada seninya lho mendorong gerobak itu,” katanya. Misalnya, jika jalan menanjak, posisi harus ditarik dan tidak boleh dipaksa didorong. ”Awalnya belum tahu. Jadi, gorengan tumpah semua,” katanya.

Saat itu, Mono memberanikan diri mempersunting gadis idamannya, Nunung. Mereka tinggal di kamar petakan 3 x 4 meter. ”Kalau gorengan belum habis, saya taruh di bawah tampah (tempat dari bambu) supaya dikira laris oleh tetangga kos,” katanya, lalu tersenyum.

Suatu ketika, ayah Mono sakit keras. Karena kantongnya tipis, dia tidak bisa pulang menjenguk ke Madiun hingga akhirnya sang ayah wafat. ”Momen ini membuat hati saya sangat sedih. Saya berdoa di makam ayah, saya bertekad harus sukses,” kata Mono.

Siapa sangka, Nunung yang hobi masak ternyata jago membuat ayam bakar. Hal itu menginspirasi Mono. Dia pun mengganti usaha gorengan menjadi ayam bakar. ”Modalnya 500 ribu dan lima ekor ayam,” ungkapnya.

Mono lantas mengganti gerobaknya ke sebuah warung tenda dekat Universitas Sahid, Jakarta. Jualannya laris manis. Saat itu, 80 ayam ludes dalam hitungan jam. Tapi, pada 2004, lokasi dagangnya digusur karena hendak dibuat SPBU. Mono lalu pindah ke Tebet Raya 57. Pada 2006, Mono membuka cabang lain. Namun, isu flu burung membuat bisnisnya terganggu. Omzet restoran Mono anjlok drastis selama beberapa bulan.

Peraih Asia Pasifik Entrepreneur Award 2010 ini terus istiqomah jualan ayam dengan menjaga kebersihan. ”Karyawan tidak boleh gondrong. Harus potong kuku dan cukur jambang. Pokoknya harus bersih,” ujar Mono.

Cabang demi cabang dapat dibangun. Dua tahun lalu, salah seorang konsumen di cabang Depok komplain gara-gara uang kembalian kurang Rp 200. Ayam Mono pun jadi gunjingan di situs-situs media sosial seperti kaskus dan facebook. ”Saya sempat shock dan nggak mau lihat laptop. Down,” katanya. Setelah agak tenang, Mono lantas minta maaf dan menjelaskan bahwa karyawannya sudah diberi sanksi.

Namun, tidak lama setelah itu, anak buah Mono berulah lagi. Kali ini tidak main-main: menusuk sopir taksi! Kasus uang kembalian dan karyawan yang menusuk sopir taksi membuat Mono sadar bahwa bisnisnya butuh karyawan yang benar-benar jujur. ”Mulailah saya pakai prinsip bisnis spiritual company seperti yang diajarkan Ustad Yusuf Mansur,” katanya.

Setiap calon karyawan harus menandatangani surat komitmen yang isinya 80 poin. Tiga poin di antaranya berlaku mutlak. Jika melanggar, karyawan yang bersangkutan harus langsung keluar. Yakni, salat lima waktu, tidak merokok, dan absen salat duha di outlet yang buka jam 8 pagi. ”Kalau tidak Shalat Duha berarti dianggap tidak masuk kerja,” kata ayah dari Novieta itu. Karyawan juga wajib mengikuti pengajian mingguan.

Mono berpendapat bahwa rezeki tidak hanya harus didapat dengan halal, tapi juga harus berkah. ”Banyak orang kerja keras, pergi pagi lebih dulu dari ayam, pulang tengah malam. Tapi, maaf, tetap miskin,” katanya. Padahal, rezeki itu sudah dijatah Tuhan untuk diambil.

Mono kini juga aktif sebagai mentor, trainer, dan motivator entrepreneur. Tidak hanya di Indonesia, dia juga ceramah di Singapura, Malaysia, Australia, Makkah, Kuwait, dan Dubai. ”Saya ini hanya lulusan SMA, tapi dipercaya untuk ngomong dengan bos-bos dan orang-orang pintar. Di situlah saya belajar,” tuturnya.

Kini hidup Mono sudah mapan. Apa target selanjutnya? ”Target saya buka cabang di kota-kota besar dunia. Sekarang baru di Singapura dan Malaysia,” kata pemilik Hummer, Alphard, dan Toyota Fortuner ini.

Dia kini lebih punya waktu untuk kegiatan amal karena bisnisnya dijalankan secara franchise dengan bendera PT Panen Raya Indonesia bersama Hendi Setiono, raja kebab dari Surabaya. ”Buku saya semua royalti untuk sedekah,” kata pemilik akun Twitter @masmono_08 ini.

Jumat, 25 Mei 2012

A GUAN, ANGKAT PAMOR KUE KACANG HIJAU

Kue kacang hijau sudah sejak lama menjadi salah satu cemilan warga Kota Sabang, Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada tahun 1980-an, beberapa warung menjual kue kacang hijau buatan ibu rumah tangga itu dengan cara diletakkan di atas nampan atau piring. Warga menilai kue kacang hijau hanyalah camilan biasa, tidak ada istimewanya. Apalagi, kue itu hanya bertahan satu sampai dua hari. Lebih dari itu, tidak lezat lagi disantap karena basi.

kue_kacang_hijauBeda dulu, beda sekarang. Tangan dingin Marfin Gunawan atau kerap dipanggil A Guan berhasil mendongkrak citra kue kacang hijau dari sekadar kue kelas toko menjadi kue andalan Kota Sabang. Tidak ada yang menyangka kalau mantan sopir angkutan barang itu mampu mendongkrak pamor kue kacang.

Di hampir semua pusat oleh-oleh khas Sabang, termasuk di Pelabuhan Balohan, pemilik toko memajang Kue Kacang Hijau AG Sabang ini. Para pelancong yang singgah ke Sabang merasa kurang puas kalau tidak membawa pulang Kue Kacang Hijau AG Sabang. Ketenaran Kue Kacang Hijau AG Sabang bahkan sampai ke Yogyakarta melalui anggota TNI Angkatan Udara yang terbang bolak-balik Yogyakarta-Sabang sebulan sekali.

Semua itu butuh ketekunan, keuletan, dan perjuangan panjang. Pria kelahiran Sabang, 13 Juni 1957, itu sendiri tidak pernah menduga kalau harus menggeluti usaha pembuatan kue kacang hijau.

Perjodohan Marfin dengan kue kacang hijau, yang mirip dengan bakpia, itu bermula pada suatu hari pada tahun 1994. Saat itu, seorang pengusaha kacang hijau tingkat rumah tangga memberinya resep rahasia membuat kue kacang hijau kepada Marfin. Pengusaha itu sendiri memilih alih profesi karena merasa usaha lamanya itu tidak prospektif.

Marfin lantas mencoba resep rahasia itu dan menitipkannya di toko-toko. Hasilnya sama saja, kuenya tidak begitu laku. Dalam sehari hanya sekitar 50 biji yang terjual dari 100 biji yang tersedia. ”Dari situ saya mulai mencari cara agar kue kacang ini lebih diminati pembeli,” kata Marfin.

Dia menemukan dua kekurangan mencolok dalam pembuatan kue kacang hijau. Kue tersebut terlalu basah dan rasanya hambar karena menggunakan minyak goreng. Setelah beberapa kali berinovasi, dia menemukan pengganti minyak goreng yang pas, yakni mentega yang membuat kuenya lebih kering dan gurih.

Dampak inovasi itu sangat nyata. Omzet penjualan kue kacang hijau terus melambung. Pada tahun 2000, omzetnya mencapai 200 sampai 300 kotak per hari, dengan harga Rp 11.000 per kotak. Satu kotak berisi 20 biji kue kacang hijau. Semua dia lakukan sendiri, dibantu anggota keluarganya.

Marfin biasa bangun pukul 03.00 untuk membuat adonan kue. Dia baru tidur pada pukul 22.00 pada saat semua bahan untuk esok hari telah siap. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.

Namun, masih ada yang mengganggu Marfin karena kuenya hanya bisa bertahan satu sampai dua hari alias cepat basi. Untuk itu, dia menambahkan zat antibasi dalam adonannya. Ide untuk penambahan zat antibasi itu datang dari petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan saat Marfin berkonsultasi tentang cara meningkatkan mutu kuenya. Hasilnya, kue bisa bertahan sampai sepekan. ”Zat antibasi ini bukan pengawet. Saya tidak berani memberi zat pengawet karena katanya bisa mengganggu kesehatan,” kata Marfin.

Usaha pembuatan kue kacang hijau terus berkembang. Marfin perlu tambahan tenaga kerja sehingga dia merekrut 25 ibu rumah tangga di sekitar rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Sabang, sebagai pekerja.

Selain itu, dia merasa perlu membeli alat-alat produksi baru untuk pengembangan usaha. Dari awalnya menggunakan oven manual, kemudian Marfin membeli tiga oven semimanual seharga Rp 400.000 per buah. Saat keuntungan kian melimpah, dia membeli oven putar sebanyak empat buah, Rp 11 juta sampai Rp 16 juta per buah.

Ketika tsunami menghantam Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004, usaha Marfin ikut menjadi korban ikutan. Meskipun semua alat produksi selamat dari hantaman tsunami dan semua anggota keluarga selamat, usahanya lesu.

Tak ada seorang pun pegawainya yang masuk kerja karena mereka sibuk menyelamatkan diri dan merawat keluarganya yang menjadi korban. Kalau pun Marfin memaksakan membuat kue, tidak akan ada yang membelinya. ”Saat itu, banyak orang berpikir sulit untuk bisa pulih, tetapi saya yakin masih bisa bertahan dan maju,” katanya.

Tiga bulan usaha Marfin mati dan itu membuatnya sempat berpikir usahanya berakhir. Seiring pulihnya korban tsunami, semangat Marfin pun pulih. Apalagi, para karyawannya kembali bekerja.

Seolah berangkat dari nol lagi, Marfin meyakinkan diri dan karyawannya bahwa usahanya akan maju jika mereka tetap bersemangat. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Omzet Marfin pulih dan bahkan naik menjadi 500 kotak per hari.

Saat itu dia merasa perlu inovasi baru. Jika sebelumnya kotak kemasan kue kacang hanya berupa kardus polos, sekarang dia berpikir untuk membuat merek bergambar dan berlabel halal. Tujuannya agar para pelancong semakin mantap menjadikan Kue Kacang Hijau AG Sabang sebagai oleh-oleh.

Dia lantas menghubungi koleganya di Medan, Sumatera Utara, untuk membantu mencetak dan membuat desain kotak kemasan kue kacang hijau. Sejak saat itu, tepatnya awal 2005, kemasan Kue Kacang Hijau AG Sabang lebih menarik dan menawan seperti yang terlihat di berbagai warung dan toko pusat oleh-oleh.

Kerja keras Marfin tidak hanya diapresiasi oleh pelanggan. Badan POM memberinya penghargaan berupa piagam Bintang Keamanan Pangan karena telah menerapkan prinsip dasar keamanan pangan. Badan POM menilai, proses pembuatan Kue Kacang Hijau AG Sabang menjaga higienitas, keamanan penyimpanan, sanitasi yang bagus, serta peralatan yang aman dan bersih. (*/Kompas.com)

Selasa, 22 Mei 2012

KISAH BEKAS KENEK, JADI PENGUSAHA SUKSES DI LONDON

Suara Pance Pondaag menyanyikan Demi Kau dan Si Buah Hati menemani Firdaus Ahmad menyetir Mercedes 120 CDI di jalanan London yang padat pada suatu siang akhir Februari lalu. Mobil jembar yang sanggup mengangkut sepuluh orang itu adalah kendaraan "dinas" laki-laki 54 tahun ini dari rumah  ke restorannya.

Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.

Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.

Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.

Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.

Daus lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.

Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.

Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.

Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.

Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.

Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.

Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah  bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.

Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.

Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin. (*/Tempo.co)

Sabtu, 19 Mei 2012

AVIAN SUWITO, SANG PEMILIK TULIP BAKERY

Karier mulus, jabatan tinggi, untuk sebagian orang bukanlah tujuan akhir. Bahkan, bagi mereka, kembali memulai dari bawah sama sekali bukan masalah demi mengembangkan usaha sendiri.

roti_bakeryAvianto Suwito adalah salah satu dari orang-orang dengan visi dan keberanian berlebih tersebut. Pada 2000, Avian, demikian dia biasa dipanggil, memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai area manajer supermarket Hero wilayah DKI Jakarta–Jawa Barat, tempatnya mengabdikan diri bekerja selama lebih dari 15 tahun. "Waktu di Hero saya bekerja di bagian processing food development," ujar Avian.

Namun, terbukti bahwa keputusan, keberanian, dan perhitungannya tepat. Kini, Avianto Suwito menjelma menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pengolahan makanan.

Berbekal pengetahuan di bidang pengolahan makanan yang diperolehnya selama bekerja, dia merintis usaha di bisnis makanan olahan. Mahir dan memiliki pengetahuan serta pengalaman cukup dalam bidang pembuatan roti dan makanan, Avian memilih untuk membuka usaha pembuatan roti.

Alasan dia memilih bidang usaha itu karena industri pengolahan roti terbilang sederhana dan tidak membutuhkan proses yang mengedepankan kontrol penuh selama 24 jam dalam sehari.

Dengan tekad bulat, tahun 2000 dia realisasikan mimpinya dengan mendirikan Tulip Bakery yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia mengakui, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha di bidang pengolahan makanan ringan itu terbilang besar untuk ukuran industri kecil dan menengah. "Tahun 2001 saya buka usaha ini dengan modal cukup besar, sampai Rp500 juta,” paparnya.

Modal tersebut diperolehnya dari hasil menabung selama bekerja 15 tahun lamanya. Avian mengaku tidak meminjam modal dari bank untuk membuka usahanya.

Menurut Avian, tingginya modal adalah karena peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi pembuatan roti terbilang sangat mahal. Begitu pula dengan bahanbahan yang dibutuhkan untuk proses pengolahan, juga terbilang sangat mahal.

Sebab, bahan-bahan pembuat roti sebagian besar tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Menurut Avian, dia maupun pengusaha roti lainnya memesan bahan pembuat roti langsung dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Eropa yang terkenal sebagai penghasil roti kualitas dunia semisal Prancis dan Italia.

"Selain untuk kebutuhan bahan-bahan tadi, modal yang besar juga dibutuhkan untuk sewa tempat, yakni sebesar Rp30 juta," ujarnya.

Dia memahami konsekuensi awal dari upayanya saat merintis usaha tersebut, yakni tidak akan mendatangkan keuntungan yang besar pada saat awal. Avian memaparkan, enam bulan pertama usahanya dijalankan, tidak ada hasil yang maksimal yang diperolehnya.

“Itu saya sadari sejak awal. Tantangan terberat pengusaha baru adalah tidak memperoleh keuntungan pada masa awal merintis usaha,” tuturnya.

Avian mengatakan, enam bulan pertama usahanya berjalan, omzet yang didapatnya hanya sebesar Rp30 juta-Rp40 juta per bulan. Hasil itu hanya cukup untuk membiayai produksi dan menggaji karyawannya.

Namun, tidak menyerah sampai di situ, Avian tetap bersemangat dalam merintis usahanya.Alhasil, secara perlahan tapi pasti, omzet usahanya mulai meningkat. “Pelan-pelan omzet mulai naik. Sekarang sudah di atas Rp100 juta per bulan,” kenangnya.

Menurut Avian, dalam merintis usaha pengolahan makanan, yang dibutuhkan adalah improvisasi dan inovasi tanpa henti. Hal itu, kata dia, harus disadari penuh dan dijalankan tanpa kecuali.

Sebab, tanpa improvisasi dan inovasi baru, usaha yang dirintis akan segera tertinggal pesaing-pesaing di bidang yang sama. “Dengan berinovasi dan kreatif, maka produk yang dihasilkan akan lain dan membuat kita berada di posisi depan dalam persiangan usaha yang sehat,” bebernya.

Beberapa inovasi yang sempat dijalankannya, kata dia, adalah hasil dari pembelajaran dan ilmu yang didapatnya selama bekerja. Sebagian lainnya, diperoleh saat menjalankan usaha dan bersinggungan langsung dengan konsumennya.

Dia mencontohkan, di tahap dasar ia belajar mengenai roti ala Eropa yang cenderung keras. Maka, roti jenis itu pula yang diproduksinya. Namun, dalam perkembangannya, dia mempelajari bahwa karakteristik konsumen Indonesia justru tidak memungkinkan dia untuk mempertahankan jenis roti Eropa.

Lantas, kiblatnya pun beralih ke jenis roti Taiwan yang lebih halus dan lebih digemari masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, dari pengalamannya dia tahu bahwa untuk kawasan Asia Tenggara, jenis roti Taiwan yang sangat halus adalah yang paling tinggi permintaan pasarnya.

“Sesuai dengan karakteristik itu, inovasi dan ide-ide segar pun dihadirkan dengan mengadopsi jenis roti yang lebih halus. Kita juga harus pandai melihat permintaan masyarakat atau segmennya. Jadi, masyarakat Indonesia bisa menikmati yang di suka,” ungkapnya.

Mengenai kendala, selama 10 tahun merintis usahanya, Avian mengatakan bahwa rintangan terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan usaha adalah persoalan tenaga kerja.

Untuk proses pembuatan roti, papar dia, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian khusus di bidang tata boga. Saat ini, Avian mempekerjakan sebanyak 11 orang karyawan yang diambil melalui paradigma pemberdayaan masyarakat sekitar.

“Kesulitannya, lulusan SMK tata boga jarang ada yang langsung tertarik bekerja ke sini, mereka lebih memilih melanjutkan kuliah. Jadi, kita harus memberdayakan dan mendidik tenaga kerja yang ada,” ujarnya.

Kendati kendala menghadang, Avian tidak surut untuk mengembangkan usahanya. Dia mengaku, jerih payah dan keringat yang dicurahkannya selama 10 tahun dalam merintis usahanya, akan terus dioptimalkan untuk menghadirkan pola pelayanan dan pemasaran yang lebih baik bagi konsumennya.

Menurut dia, kendaraan operasional diyakini mampu menjawab tantangan ke depan sekaligus mewujudkan harapan dan keinginannya. “Saya merencanakan, tahun depan akan membeli tiga sampai lima unit sepeda motor untuk operasional dan pemasaran. Saya yakin itu akan lebih efektif,” tuturnya.

Kini, setelah 10 tahun, Avian mengaku cukup berbangga dengan hasil yang telah dinikmatinya. Kualitas roti bercita rasa tinggi dengan mengedepankan inovasi dan kreasi, membuat usaha yang dirintisnya tetap diminati berbagai kalangan. (*/Harian Seputar Indonesia)

Rabu, 16 Mei 2012

SIGIT SUSILO, JURAGAN BROWNIES TEPUNG SINGKONG

Sigit Susilo adalah salah satu dari segelintir anak muda yang sukses. Bagaimana tidak, Sigit mampu meraup penghasilan hingga puluhan juta rupiah dari usaha yang dijalaninya. Ide dan kreativitas merupakan modal utama Sigit dalam menjalankan bisnisnya.

Buktinya, dia mampu menghasilkan produk, yakni kue brownies yang terbuat dari tepung singkong, mengingat kebanyakan brownies yang dijual di pasaran saat ini menggunakan tepung terigu.

mr_BrownCoKemudian, brownies ciptaannya itu dia jual dengan merek mr BrownCo. Konsep mr BrownCo adalah memadukan antara produk pangan lokal dengan modern. Sigit mendirikan mr BrownCo pada 6 Februari 2008 di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga.

Sejak berdiri, sambutan konsumen sangat tinggi. Ini terlihat dari semakin meningkatnya angka penjualan dari bulan ke bulan. Kemudian diversifikasi dan inovasi produk terus dikembangkan dengan selalu mengikuti selera konsumen dan mengedepankan pelayanan terbaik.

Ketertarikan Sigit memulai bisnis bermula pada tahun 2004 sewaktu masih menjadi mahasiswa tahun pertama di IPB. Saat tinggal di asrama, kata Sigit, dia tertarik berjualan setelah melihat banyak teman-temannya yang jualan.

"Saya menjual produk orang lain, yakni nata de coco. Namun, sebenarnya peraturan asrama sendiri enggak membolehkan mahasiswa berjualan karena mengganggu ketertiban asrama. Selepas dari asrama tahun 2005, saya enggak jualan nata de coco lagi," papar Sigit.

Pada waktu itu, Sigit dan seorang temannya, Indra, memutuskan untuk membuat brownies biasa yang berbahan dasar tepung terigu. Bisnis kecil-kecilan itu mampu berjalan hingga tahun 2008 dan pemasarannya sebatas di lingkungan komunitas IPB.

"Awalnya kami membuat sebanyak dua kotak per hari, dan mendapatkan pendapatan sebesar Rp60 ribu per hari. Lama-lama, pendapatan kami bertambah menjadi sebesar Rp200 ribuper hari. Tapi tidak hanya menjual di kelas, kami juga menjual ke perumahan sekitar kampus. Walaupun produksi terbatas, mengingat waktu itu kami masih kuliah," papar Sigit.

Lalu pada tingkat akhir kuliah, bisnis yang dijalani Sigit dan Indra semakin berkembang, dan anggota tim pun bertambah dua orang, yakni Bahtiar dan Irna Melviyana. Ekspansi usaha pun coba dilakukan mereka, apalagi ketika itu mereka mendapatkan dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp4 juta.

"Saya mengajukan proposal bisnis brownies ke PKM. Jadi sambil berbisnis, kami juga sekaligus menjalankan program PKM selama setahun. PKM semacam kompetisi seluruh kampus di Indonesia. Waktu itu proposal program kami adalah brownies ubi jalar dan talas. Sementara modal yang kami miliki sendiri sebesar Rp2 juta, jadi modal awal total Rp6 juta. Itu bisa dibilang kami ikut lomba bikin business plan," kata Sigit.

Modal Rp6 juta tersebut kemudian digunakan Sigit untuk membeli etalase toko di Bogor seharga Rp600 ribu, oven, mixer, sewa tempat sebesar Rp1,5 juta per tahun, pembuatan leaflet sebanyak 500 lembar, bahan baku brownies, dan sebagainya.

"Dalam setahun, modal itu berputar, dan pendapatan per bulan Rp9 juta. Waktu itu masih membuat brownies berbahan baku ubi jalar dan talas. Kita juga sering ikut pameran dan bazar. Selepas dari program PKM, kami mulai mengembangkan bisnis sendiri," kata Sigit.

Kreativitas Sigit terus berlanjut dengan melakukan inovasi mencoba berbagai bahan baku umbi-umbi lainnya, mulai dari tepung ganyong hingga tepung singkong untuk membuat brownies. Sampai pada akhirnya, dia menemukan bahan baku yang cocok untuk membuat brownies, yakni tepung singkong.

"Karena kami memang selalu mengutamakan untuk mengembangkan bahan baku pangan Indonesia. Yang namanya industri kan bukan hanya sekadar unik, tapi kontinuitas dari bahan baku itu tetap harus ada. Kalau memakai singkong murni dikukus kan buat industri tidak efektif," ujarnya.

Selain tertarik untuk menggunakan bahan baku pangan Indonesia, Sigit mengaku, juga ingin menekan penggunaan produk tepung terigu yang merupakan produk impor. Sementara itu, tahap percobaan menggunakan tepung singkong dan tes pasar hanya berlangsung selama sebulan.

Seiring dengan waktu, pada pertengahan 2009, Sigit berhasil meraup omzet sebesar Rp25 juta per bulan. Namun sayangnya, di tengah semakin berkembangnya usaha, semua anggota tim Sigit memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. "Setelah lulus, saya baru kembangkan usaha sendiri," ucapnya.

Kendati hanya seorang diri, Sigit tidak langsung putus asa dan tetap semangat untuk menjalankan usahanya. "Saya berharap brownies mr BrownCo ini nantinya bisa menjadi ikon oleh-oleh khas Bogor," tutur Sigit.

Strategi marketing yang dilakukan adalah dengan melakukan bazar dan pemeran, baik di sekitar kampus IPB maupun di wilayah Bogor dan Jakarta. Selain itu, promosi via online juga sudah dilakukan untuk mempromosikan produk mr BrownCo ke seluruh wilayah Indonesia, yakni melalui www.mrbrownco.com, www.oleholehbogor.com, maupun melalui situs jejaring sosial.

Saat ini, Sigit sudah memiliki satu outlet yang berlokasi di kampus IPB yang merupakan tempat utama untuk memasarkan produknya. Dia juga memasok hasil produksi di Botani Square dan beberapa agen di sekitar Bogor.

Rencana pengembangan bisnis mr BrownCo adalah dengan memperluas pasar di pusat kota Bogor dan merambah area Jabodetabek. Ada dua rencana pengembangan bisnis. Pertama, konsep booth, display, atau stan di tempat-tempat strategis, seperti mal, pusat jajanan khas Bogor, tempat rekreasi, atau jalan-jalan utama di Bogor.

Kedua, membuka outlet atau gerai yang memadukan antara brownies, kopi, dan makanan khas Bogor, di mana konsumen juga disediakan tempat untuk menikmati secara langsung produk-produk yang ditawarkan sambil menikmati hidangan kopi dan menu aneka brownies siap saji.

Tahap pertama yang segera direalisasikan, yaitu meresmikan pembukaan mini cafe di kampus IPB Darmaga. Mini cafe pertama yang akan dibuka pada November 2010 adalah perpaduan antara brownies dan kopi. Untuk membuka mini cafe, Sigit bekerja sama dengan seorang temannya, Asyhar. Dana yang dibutuhkan untuk membuka mini cafe itu sebesar Rp100 juta.

“Kami sekarang mengarah kepada sistem cafe. Konsepnya sekarang orang bisa makan dan minum sambil nongkrong. Karena menurut saya cocok, menghubungkan brownies dengan kopi. Untuk keuntungannya, sistemnya nanti bagi hasil,” ungkapnya.

Sigit mengaku, mampu menjual sebanyak 25-40 kotak brownies singkong setiap harinya. Biasanya, Sigit memproduksi 48 kotak brownies singkong panggang, 16 brownies singkong kukus, dan 100 cup brownies per hari dengan kisaran harga mulai dari Rp2.000 hingga Rp55 ribu.

"Tapi tergantung event, kalau puasa dan Lebaran biasanya akan lebih dari itu. Pada waktu liburan panjang juga meningkat, karena para mahasiswa IPB yang ingin pulang ke rumahnya, biasanya membeli untuk oleh-oleh. Jadi, ya sudah menjadi semacam gaya hidup mereka. Bahkan dulu, produk saya pernah sempat diberi tagline ‘gawenya anak IPB’," ucapnya. (*/Harian Seputar Indonesia)

Minggu, 13 Mei 2012

DARI SOPIR TAKSI KE USAHA ROTI


 
Buchori Al Zahrowi 
Buchori, begitu pria bernama lengkap Buchori Al  Zahrowi ini biasa dipanggil, Buchori menjadi sosok pengusaha muda sukses yang rendah hati. Lelaki kelahiran Bantul, 26 Maret 1969 ini dalam hidupnya pernah jadi sopir taksi selama tiga tahun dan sekarang menggeluti usaha Roti dan Kue AFLAH yang berarti lebih.  Usaha yang digelutinya sekarang sudah berkembang dan membiakkan beberapa outlet di berbagai kota, antara lain Yogyakarta, Kutoarjo, Purworejo, Grabag dan Purwodari. Usaha yang dikelolanya sekarang ini membuatnya semakin mantap dalam menjalankan bisnisnya, walau krisis menghadang. Karena dengan krisis ini, menurut Buchori difahami menjadi sebuah peluang, karena banyak lahan yang ditinggalkan oleh para pengusaha/pelaku usaha  yang tidak tahan terhadap goncangan badai.
Pengusaha muda sukses ini sejak SMA sudah mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dengan keterbatasan hidupnya ini, maka Bapak dari  2 anak putri yaitu Bazfa Azzah Zhorifah dan Bazfa Alya Zhofirah ini tidak memilih jalur lambat mencari uang  yaitu menjadi karyawan, tetapi memilih jalur cepat menghasilkan uang dengan cara menjadi pengusaha. Cita-citanya ini terbukti, bahkan bukan sekedar materi  yang didapat dan berjalan maju cepat tetapi keseimbangan spiritual yang dapat dicapai.
Kini Gilirannya Untuk Bertukar Pengalaman  
Mantan aktifis kampus diera awal 90-an di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Yogyakarta) ini, sekarang sibuk dengan kepeduliannya dengan cara memberikan motivasi bisnis untuk kalangan mahasiswa. Trik dan kiat bisnis yang diberikannya sederhana dan langsung bisa diaplikasikan serta tidak terlalu banyak modal. Sudah banyak mahasiswa yang berhasil punya keberanian membuka usaha sendiri setelah mendapat pencerahan dan motivasi darinya. Harapannya semakin banyak anak muda dan mahasiswa yang setelah lulus kuliah dan sudah siap mandiri dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.
Berbekal jaringan dan silaturrohmi yang dibangun sejak menjadi aktifis kampus dan seringnya memberikan berbagai pelatihan diberbagai pelosok desa, Buchori yang merupakan suami dari Tin Khotimah ini lebih mantap melangkah dan menjadikannya modal dasar untuk memulai usaha membuat roti dan kue dengan merk “AFLAH” yang sudah dipatenkan dengan Hak Merek Reg. No. 000.091.841 serta sertifikat Halal MUI DIY. 121.000.001.001.08. Pola marketing yang begitu tepat dan cepat yang menjadikan para konsumen bukan hanya membeli produknya, tetapi lebih banyak pada ikatan emosional bathin, inilah yang jarang dimiliki oleh para pengusaha. Keloyalan dan kesetiaan para konsumen menjadikan bisnisnya berkembang pesat.
Buchori Al Zahrowi menambahkan, bila ada para calon pengusaha atau pengusaha yang berminat dengan bisnis ini dapat menghubungi di No HP :  081-7401074 atau melalui internet diwww.aflahcake.com  atau  facebook : Kuliner Jogja, atau email : infoaflahcake.com.  (Agus)