Adsense

Sabtu, 30 November 2013

MENIKMATI LABA PENGANAN KETAN SUSU

Maraknya makanan modern tak membuat jajanan pasar terpinggirkan. Salah satu jajanan pasar yang banyak diburu adalah ketan. Febrianto, pebisnis kuliner asal Jombang salah satu yang mengolah ketan menjadi aneka varian makanan, seperti ketan susu bumbu serundeng, ketan susu keju, ketan susu selai stroberi, ketan susu nanas, dan ketan susu durian. 

"Semua jajanan berbahan dasar ketan, ," kata pemilik usaha Tansu (Ketan Susu) ini.
 
Usaha Tansu sudah dibukanya sejak Juli 2011. Usaha yang berpusat di Jombang ini menawarkan kemitraan pada akhir 2011. 

Paket investasi dipatok sebesar Rp 6,5 juta. Mitra akan mendapat fasilitas berupa booth, peralatan standar pembuatan ketan dan pelatihan membuat ketan. "Nanti bahan bakunya dari kami," ujar Febrianto. 

Baru dua tahun berdiri, Tansu sudah memiliki sembilan gerai yang tersebar di Bandung, Tangerang, Banjarnegara dan Samarinda. Tujuh diantaranya milik mitra. "Sementara dua outlet milik saya sendiri ada di Jombang," ujar Febrianto.

Harga Tansu dipatok berbeda sesuai dengan daerahnya. Di Jawa, harga Tansu dipatok mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per porsi. Sedangkan di luar Jawa, harga Tansu bisa mencapai Rp 10.000 per porsi. 

Saban bulan, mitra bisa menangguk omzet hingga Rp 4 juta dengan keuntungan 50%. Febrianto mengklaim, mitra bisa balik modal dalam waktu dua sampai tiga bulan. "Balik modalnya sangat cepat," katanya sembari mengingatkan lokasi gerai juga berpengaruh dalam perolehan omzet.  

Febrianto tidak mengutip biaya royalti dari mitra. Tetapi, mitra wajib membeli bahan baku ketan, susu, dan selai dari pusat. Itu dilakukan untuk menjaga kualitas rasa.

Saat ini, ia masih gencar menggaet mitra di Pulau Jawa, khususnya di daerah Jakarta, Bandung, Surabaya. "Saya akan menutup tawaran kemitraan ketika sudah mencapai 50 mitra," ujarnya.

Rabu, 27 November 2013

Mencicipi renyah peluang bisnis takoyaki

Bisnis kuliner Jepang tidak ada matinya. Makanan khas Negeri Sakura itu banyak digemari orang Indonesia. Selain bento dan sushi, masih banyak menu lain yang mulai populer di Indonesia. Salah satunya adalah takoyaki.

Belakangan makin banyak gerai camilan berbentuk bola-bola dengan bahan baku utama tepung dan seafood ini. Salah satu pemainnya adalah Nurhadi, pemilik usaha Takoyaki Yakinenak asal Semarang, Jawa Tengah.

Nurhadi mengklaim, takoyaki buatannya unggul dalam hal rasa, kualitas dan bentuk yang tahan lama. "Takoyaki kami walau pun  sudah dingin, kulit luarnya tetap bulat dan rasanya tetap enak. Kebanyakan yang lain kulitnya menjadi kempes dan tak menarik," ujar Nurhadi yang mendirikan usaha sejak tahun 2010 ini. 

Takoyaki buatannya hadir dalam enam varian topping, seperti sosis, cumi, udang, jamur, ikan salmon, dan keju. Harga jualnya mulai Rp 7.000 hingga Rp 12.000 per porsi. Setiap porsi berisi lima buah takoyaki siap santap.

Untuk mengembangkan usahanya, Nurhadi mulai menawarkan sistem kemitraan Yakinenak pada 2011 lalu. "Saat ini sudah ada 10 gerai Takoyaki Yakinenak. Milik saya hanya dua gerai dan  selebihnya milik mitra usaha," jelasnya.  Seluruh gerai tersebut masih terpusat di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Nurhadi menawarkan paket investasi seharga Rp 6 juta. Dalam paket ini, mitra akan memperoleh sejumlah fasilitas, seperti booth, kompor, wajan, peralatan lengkap, bahan baku awal, seragam, SOP lengkap, dan pelatihan pembuatan takoyaki. 

Mitra juga berhak menggunakan nama Yakinenak. Dalam kerjasama ini, ia menargetkan mitra usaha bisa balik modal dalam waktu lima hingga enam bulan. 

Perhitungannya, mitra bisa memperoleh omzet Rp 6 juta hingga Rp 7 juta per bulan dengan laba bersih 20% - 25%. Nurhadi tak mengenakan royalty fee pada mitra. Namun, mitra wajib membeli bahan baku dari pusat. "Tepung premiks dan pembungkus dengan nama Yakinenak wajib membeli dari kami," tutur Nurhadi. 

Sementara, untuk bahan baku lainnya seperti topping bisa dibeli di daerah terdekat mitra, namun mereknya harus tetap sesuai yang distandarkan pusat. sumber : kontan.co.id

Jumat, 15 November 2013

Rainbow cake: Warnanya bisa memikat laba

Penjualan kue lazimnya terangkat selama masa perayaan Natal dan tahun baru. Untuk tahun ini, rainbow cake dan red velvet menjadi andalan untuk mencetak kenaikan penjualan. Aneka kreasi turut menaikkan popularitas kedua kue tersebut.

Warna-warni cerah ternyata bisa mengundang selera mengunyah bagi banyak orang. Kesimpulan itu muncul dari tren rainbow cake dan red velvet selama setahun terakhir.

Selama perayaan Natal dan pergantian tahun, kedua kue tersebut mengangkat penjualan di banyak toko kue, kafe, restoran dan hotel, hingga dua kali lipat. Rainbow cake sudah menghiasi etalase berbagai toko kue sejak awal 2012. Red velvet hadir lebih cepat lagi, yaitu akhir 2011.

Sesuai dengan keunggulannya, penampilan yang menarik berkat warna yang mencolok alias eye catching, rainbow cake populer di kalangan anak dan remaja. Kue bianglala itu seolah menjadi menu wajib saat perayaan ulang tahun anak-anak masa kini. Adapun kesan anggun dan elegan warna merah menggoda banyak wanita untuk mencicipi red velvet.

Banyak toko kue menjadikan kedua kue tersebut sebagai major menu. Sementara itu, restoran dan hotel mendaulat keduanya sebagai dessert andalan dalam beragam kreasi.

Michelle’s Patisserie bisa disebut sebagai toko yang menikmati legitnya penjualan rainbow cake dan red velvet. Rainbow cake, yang dijual dengan harga tertinggi Rp 550.000 per loyang itu, mengangkat pemasukan toko tersebut hingga 50% tiap bulannya.

Karena memiliki katering sendiri, toko yang berlokasi di Central Park Jakarta itu berani memberi jaminan bahwa warna yang digunakan dalam rainbow cake-nya masuk kategori food grade. Pembeli juga dapat memesan rainbow cake yang unik sesuai dengan keinginan masing-masing.

Adapun red velvet hadir dengan berbagai variasi yang berubah dalam kurun waktu tertentu. Di bulan Desember, kue yang mengerek naik pemasukan Michelle’s Patisserie hingga 30% itu, tampil dengan kombinasi dark cherry serta cheese cream di tengahnya. “Saat Natal dan tahun baru, kami sampai kewalahan melayani pengunjung,” kata barista Michelle’s Patisserie, Rico Matondang.

Berkah dua kue dengan penampilan unik itu juga dinikmati The Harvest. Toko itu menyajikan red velvet sejak Mei dan rainbow cake pada Oktober. Red velvet versi The Harvest adalah kue berbahan buah bit asli yang dipadukan dengan macaroon tower berbungkus kotak merah. Sejak muncul, kue itu menempati produk terlaris kedua, setelah chocolate devil, dalam tingkat pemesanan. Di The Harvest, banderol harga red velvet berkisar Rp 250.000 hingga Rp 1,5 juta per loyang.

The Harvest juga memodifikasi tampilan rainbow cake. Jika banyak toko menyusun kue ini dalam enam lapis warna pelangi secara horizontal, lapisan warna rainbow cake ala The Harvest tersusun secara vertikal. Dengan diameter 20 cm, kue itu dijual seharga Rp 290.000.

Masing-masing kue bisa menuai pesanan hingga 50 loyang per hari. Marketing Manager The Harvest, Frita P. Widiastanti, menyebut, kedua menu tersebut menyumbang kenaikan pendapatan 10% per bulannya. Pertumbuhan pesanan lebih tinggi lagi di saat Natal dan tahun baru, hingga tiga kali lipat.


Menaikkan omzet
Rainbow cake dan red velvet yang baru hadir selama lima bulan di Eaton Restaurant and Bakery juga sukses mendongkrak pendapatan toko kue itu hingga 20% setiap bulan. Bila toko lain menggunakan buah bit atau pewarna makanan untuk menghasilkan merah segar red velvet, maka Eaton menggunakan raspberry dan cranberry. Eaton juga membedakan rainbow cake-nya dengan menekankan rasa, bukan warna.

Pemain baru, semacam D’Cakes by Dewi, turut menyaksikan tingginya pesona kedua kue tersebut. Sejak pertama kali membuka tokonya pada Juli 2012, Puspita Dewi Laksmono atau yang akrab disapa Dewi, telah menikmati omzet lebih dari Rp 50 juta per bulan dengan kenaikan mencapai 50% saat Natal kemarin, berkat red velvet dan rainbow cake. Di toko ini, untuk penjualan per potong, rainbow cake tampil dalam tiga warna, yakni merah, kuning, dan hijau. Adapun untuk penjualan per loyang, Dewi tetap menggunakan enam lapis warna dengan kisaran harga Rp 150.000 sampai Rp 350.000 per loyang.

Dewi menggoda konsumennya dengan menyajikan red velvet berpadu cream cheese dan almond nougat. Kue tersebut dijual dengan harga berkisar Rp 200.000–Rp 375.000 per loyang. Baru-baru ini, Dewi merilis varian velvet terbaru, yakni pink velvet. Kue ini pun menikmati kenaikan pemesanan hingga 30%.

Rainbow cake dan red velvet juga laris manis di restoran dan hotel. Di Union Restaurant, red velvet menjadi menu andalan yang bahkan harus diproduksi tiga kali sehari demi memenuhi permintaan pengunjung, yakni pada pukul 11.00 WIB, 16.00 WIB, dan 19.00 WIB. Menurut host Union, Vira, kue yang dijual seharga Rp 528.000 per loyang, dengan diameter 24 cm itu, bisa laku hingga 80 loyang per hari. Namun Vira menolak menyebutkan kenaikan omzet yang disumbang oleh menu yang telah ada sejak Agustus 2011, di restoran yang terletak di Plaza Senayan itu.

Kedua kue itu juga menjadi dessert andalan di restoran Hotel Aston Marina sejak awal 2012 dan Hotel Aston Bali sejak September 2012. Marketing and Communication Manager Hotel Aston Marina, Gita Ashari, mengakui, dari rainbow cake dan red velvet, restoran Aston menikmati kenaikan omzet hingga 40% per bulan.

Peminat kedua kue tersebut juga dapat memesan melalui Cicip-Cicip, toko kue milik Hotel Aston. Di tempat itu, pelanggan dapat memesan kreasi rainbow cake dan red velvet, sesuai dengan keinginan, dengan harga minimal Rp 100.000 per loyang.

Namun ada pula toko kue yang memilih untuk mengakhiri produksi rainbow cake dan red velvet, tahun depan. Pemilik Souly Butter Kitchen, Rezia Dwinanda, menuturkan, meski masih masuk daftar produk dengan penjualan tinggi di tahun ini, kedua kue itu tak akan lagi diproduksi Soully Butter.

“Mungkin di tempat lain kedua kue ini masih dicari pelanggan. Tapi kami percaya pelanggan butuh pembaharuan. Jadi toko kami lebih memilih memproduksi menu baru untuk tahun depan,” ujar dia. Kira-kira, sampai kapan, ya, daya pikat kedua kue itu awet?

Selasa, 12 November 2013

Dari pemasok ikan, Mudita sukses jual roti sarapan

Sebagai mantan karyawan hotel, Ketut Mudita hafal betul kebutuhan dapur hotel. Berbekal jaringan kuat, Mudita berhasil menjadi pemasok aneka kue dan roti untuk sarapan sejumlah hotel, restoran, dan kafe di Bali. Omzetnya ratusan juta rupiah.

Jeli melihat peluang menjadi modal utama Ketut Mudita meraih sukses. Memulai usaha sebagai pemasok ikan di beberapa restoran, kini Mudita memiliki usaha bakery ternama di Bali, Pelangi Rex. Meski hanya melayani pasar hotel dan restoran (horeka), Pelangi Rexs mampu mencatat omzet ratusan juta rupiah per bulan.

Berawal dari niat ingin memiliki usaha sendiri, Mudita, yang saat itu berumur 38 tahun, memutuskan keluar dari Hotel Sanur Beach, tempatnya bekerja. Dengan bekal seadanya, ia mulai menjadi pemasok ikan untuk beberapa restoran.

Setelah menjalani bisnis ini selama setahun, Mudita melihat keuntungan usahanya kurang menggigit. “Saya amati, laba yang diperoleh bersifat musiman,” kenangnya. Maklum, tak tiap hari ia bisa mengirim ikan sesuai pesanan karena pasokan ikan mengenal musim.

Belajar dari pengalaman itu, Mudita lantas mencari usaha yang tak kenal musim. Ia  lantas beralih menjadi pemasok bahan kue dan roti yang saban hari dibutuhkan orang.

Dari permintaan bahan-bahan bakery yang stabil, pria kelahiran Bali, 18 Juli 1949, ini mengendus peluang untuk membuka usaha bakery sendiri.

Lantas, Mudita mulai belajar membuat roti dari sejumlah chef hotel yang dikenalnya. Selanjutnya, ia mendalami keterampilan untuk membuat beberapa jenis roti, seperti roti tawar, roti gandum, muffin cake, croissant cake, dan pancake. Ya, Mudita memang fokus membuat jenis roti itu karena ia ingin mengincar pasar horeka.

Punya banyak relasi di industri perhotelan, awalnya, Mudita yakin bisa mengirim roti bikinan dia ke hotel-hotel di Bali. Namun, nyatanya, tak gampang, karena hotel dan restoran sudah memiliki pemasok sendiri yang pengalamannya lebih lama ketimbang Mudita.

Selain itu, wisawatan asing yang berkunjung ke Bali juga tetap menginginkan cita rasa produk bakery seperti dari negeri asal mereka sendiri.

Kondisi ini tak membuat  Mudita menyerah. Ia tetap bergerilya untuk datang dan menawarkan produknya ke hotel-hotel di Bali. Senjata andalan Mudita adalah harga yang lebih murah.  “Saya masuk ke hotel bintang lima hingga hotel kelas melati dan vila,” tutur dia.

Usaha Mudita akhirnya berbuah manis. Pengelola hotel mulai memesan roti kepada dirinya. Saat awal merintis usaha sekitar tahun 1990 itu, Mudita yang hanya mengolah satu sak tepung terigu yang menghasilkan 200 roti sehari.

Roti untuk sarapan

Dari hari ke hari, berkat kegigihan Mudita, bakery Pelangi Rexs makin dikenal oleh pemilik hotel, restoran, dan kafe di Bali. Maklum, selain murah, toko kue ini memiliki cita rasa khas. “Croissant bikinan kami bahkan dipuji wisawatan asal Prancis. Kata mereka, rasanya tak jauh beda dengan yang dibuat di Prancis, daerah asal croissant itu,” kata Mudita senang.

Kualitas dan cita rasa produk memang menjadi perhatian Mudita. Tak lupa, ia mendaftarkan produk Pelangi Rexs untuk memperoleh sertifikat halal, supaya kue dan roti bikinannya bisa dinikmati semua kalangan, baik wisatawan asing maupun domestik. “Saya seringkali melihat wisatawan memilih-milih makanan di Bali karena takut tidak halal. Dengan sertifikasi halal, produk saya bisa dimakan siapa saja,” ujarnya.

Selain itu, Mudita juga terus menambah jejaring koki dan menjalin hubungan baik dengan mereka. “Itu salah satu cara untuk memperluas pasar,” tutur Mudita lagi.

Setelah memperoleh langgan-an tetap dari beberapa hotel, restoran dan kafe, Mudita mendirikan pabrik roti seluas 650 m² di Denpasar, Bali. Sebelum itu, Mudita mengolah roti di rumahnya sendiri.

Kini, pabrik Pelangi Rexs mengolah hingga 1.600 sak tepung sebulan. Dengan mempekerjakan 60 orang karyawan, Mudita bisa memproduksi sekitar 36.000 roti setiap hari.

Berkat niatnya berinovasi dan mempertahankan kualitas,  Mudita juga mendapat pesanan dari Aerofood Bandara I Ngurah Rai. Ia memasok muffin dan tortilla bagi para penumpang Garuda Indonesia. Tiap hari Mudita mengirim sekitar 10 karton muffin dan tortilla. “Garuda termasuk salah satu pelanggan yang bukan hanya mempertimbangkan produk berdasarkan rasa dan komposisi bahan baku saja, namun hingga kepada kebersihan pabrik dan laporan kesehatan setiap karyawan yang bekerja di pabrik saya,” terang Mudita.

Mudita pun makin mantap menjalani usaha bakery ini karena permintaan tak mengenal hari libur. Maklum, lantaran fokus melayani kue dan roti untuk  breakfast (sarapan), pabriknya tak pernah berhenti berproduksi meski hanya sehari.

Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri. Supaya roda mesin pabrik tetap berputar tiap hari, Mudita bilang, butuh kemampuan manajemen yang baik dan adil, terutama dalam mengatur pembagian tugas dengan para karyawannya. “Saya berusaha karyawan tidak jenuh dengan pembagian tugas yang efektif,” tutur dia.Sumber : Kontan.co.id

Sabtu, 09 November 2013

Berbisnis roti berbekal kursus singkat kue tart

Pantang menyerah  menghadapi rintangan menjadi kunci sukses Andik Irianti dalam mengibarkan bisnis kue. Pebisnis asal Surabaya ini berceritera, ia telah menghadapi berbagai macam tantangan hingga akhirnya bisa sukses sekarang ini. Meski berstatus industri rumahan, omzet Andik Bakery bisa mencapai Rp 450 juta sebulan.

Andik bercerita, keinginan bisnisnya timbul pada 1987 setelah menikah. Saat itu, pekerjaan suami sebagai karyawan pabrik kayu berpenghasilan pas-pasan. Untuk menambah uang belanja, Andik membantu operasional toko kelontong milik mertuanya.

Dari pengalaman itu, dia terpikir membangun bisnis di rumah. Apalagi, ia ingin mendapat uang sekaligus mengurus anak-anaknya 24 jam di luar jam sekolah. Ia pun mengambil kursus menjahit. Namun, bisnis menjahit memakan waktu. "Satu baju tak jadi satu hari. Harus bikin pola dulu, lalu dijahit," katanya. Dia pun  berpaling ke kursus membuat kue.

Keinginan mengikuti kursus membuat kue, terpercik ketika dia membeli roti. Di toko roti dia menemukan brosur tawaran kursus membuat kue yang menarik minatnya.  Dia memilih tawaran kursus singkat membuat kue di Surabaya. Lama kursus 3 jam sekali pertemuan dengan satu macam kue. Biaya kursus Rp 150.000 per pertemuan. "Pertemuan pertama saya ambil materi kue tart. Pulang kursus saya praktikan di rumah, ternyata berhasil.

Saya suruh anak-anak jual ke tetangga. Ternyata banyak yang suka," kenangnya. Waktu itu dia menghargai kue pertamanya Rp 1.000 per potong. Harga itu tak cukup banyak memberi untung. "Untung belakangan, yang penting bagaimana bendera kita berkibar," katanya.

Melihat prospek pasar yang bagus, dia mengambil 30 tawaran kursus dengan materi berbeda-beda. Dia mengukuhkan hatinya untuk berbisnis roti dan kue.

Seperti keinginannya sejak awal, selama dua tahun dia mengoperasikan usahanya di rumah mertua. Hingga tahun 2003, dia memutuskan pindah dan mencari tempat baru yang lebih besar dan dekat jalur transportasi.

Dia kemudian membeli rumah yang akan dijadikannya tempat usaha. Dengan lokasi strategis di pinggir jalan raya, rumah seluas 150 m2 itu membuat maju Andik Bakery. "Waktu itu saya beli etalase dan membuat papan nama agar orang tahu rumah saya jualan roti dan kue," ujarnya.

Melihat perkembangan bisnisnya maju, dia kemudian memperluas tempat usaha dengan membeli tanah di sekitar rumahnya hingga menjadi 520 m2. Dia juga meminta suami untuk keluar dari pekerjaan dan membantu mengembangkan bisnis kue. "Saya mulai kewalahan mengurus sendiri. Saya butuh dukungan suami." katanya.

Andik kewalahan karena pelanggannya bertambah, tidak hanya dari Surabaya, tapi juga Madura, Pasuruan dan Malang. Pesanan luar kota biasanya dalam porsi besar. Produk-produknya kini juga telah dijual di gerai toko modern seperti di Indomart dan Alfamart di Surabaya. Sumber : Kontan.co.id

Rabu, 06 November 2013

Tanamkan jiwa bisnis & semangat pantang menyerah

Cita-cita besar tertanam di kepala Andik Irianti dalam mengembangkan sayap bisnisnya. Selain membesarkan bisnis kue dan roti Andik Bakery, kini dia juga merambah ke lini bisnis lain yaitu laundry.

Andik juga membuka tawaran kemitraan Andik Burger dengan investasi Rp 7,5 juta. Dengan uang tersebut, mitra akan mendapatkan gerai untuk menjual burger olahan Andik Bakery. Sampai saat ini tercatat sudah 10 gerai Andik Burger yang tersebar di sekitar Surabaya.

Untuk bisnis laundry, Andik menggunakan nama anaknya sebagai merek, Sinta Laundry & Cleaning. Usaha baru yang dimulainya pada 2009 ini, menurut Andik, telah mengeruk omzet Rp 12 juta tiap bulan.

Dengan tambahan dua usaha barunya, kini total omzet yang didapat Andik telah mencapai Rp 450 juta per bulan. Dari omzet sebanyak itu, pendapatan bersih Andik bisa mencapai sekitar Rp 100 juta.

Cita-citanya tidak berakhir sampai disitu saja. Impian besar Andik adalah mewariskan usaha roti kepada masing-masing tiga anaknya. “Saya nanti ingin semua anak-anak saya kerja di rumah saja. Jadi harapan saya adalah membuat tiga perusahaan roti untuk masing-masing,” ujarnya.

Untuk itu, Andik mulai dini telah mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana cara membuat  kue dan roti. Bahkan untuk bisa mendidik jiwa bisnis sang anak, dia sudah melibatkan anak bungsunya yang berumur 8 tahun untuk  menjaga mesin kasir di Andik Bakery.

Dengan didikan sejak dini, Andik yakin sang anak nantinya akan mampu membesarkan bisnis lebih dari yang bisa dia peroleh saat ini. "Semua sudah mahir membuat kue," kata Andik bangga.

Selain pembelajaran bisnis, dia juga berusaha menurunkan semangat pantang menyerah ke anak-anaknya. Sebab, menurut Andik, semangat pantang menyerah menjadi kunci utama dalam berbisnis. "Kalau sudah jalan, harus terus dijalankan," katanya. Sumber : Kontan.co.id

Minggu, 03 November 2013

Merajut untung nan legit dari boneka berbentuk kue

Bukan cuma mainan bagi si kecil, boneka juga menjadi sarana edukasi. Kini yang lagi laris adalah boneka berwujud aneka aneka jenis makanan kesukaan anak. Dari sinilah muncul peluang usaha yang cukup gurih.

Boneka acap menjadi teman bermain si kecil. Selain berperan sebagai mainan, sebetulnya boneka juga bisa menjadi sarana edukasi yang efektif. Dengan bentuk yang lucu dan warna yang cerah, anak-anak tak akan mudah bosan belajar dengan boneka.

Sebagian orang tua pun menggunakan boneka untuk mengenalkan berbagai binatang atau benda-benda lainnya, kepada buah hati tersayang. Selain itu, saat mendongeng, orang tua juga menggunakan beragam boneka sebagai peraga untuk menghidupkan suasana.

Berawal dari kegiatan komunitas yang ingin mengenalkan jajan pasar khas Indonesia kepada anak-anak di Indonesia, Glenn Ardiansyah, seorang produsen boneka, kemudian memproduksi boneka jajan pasar. “Saat mendongeng tentang jajan pasar, ternyata, banyak orang tua yang pesan,” ujar dia.

Dari situlah, pada 2012, Glenn memutuskan terjun menjadi produsen boneka jajan pasar.  Gayung pun bersambut. Banyak orang tua yang kemudian memesan boneka jajan pasar.

Kini, dalam seminggu, Glenn mampu membuat sekitar 150 boneka jajan pasar dan 150  boneka tas yang juga berbentuk jajan pasar. Ada enam varian boneka jajan pasar yang ditawarkan oleh Glenn. Masing-masing boneka berbentuk getuk, cenil, lemper, bolu kukus, cakwe, dan moci.

Boneka-boneka itu dijual mulai dari harga Rp 45.000 per buah. Dalam sebulan, boneka jajan pasar mampu menghasilkan omzet hingga Rp 80 juta.

Berbeda dengan Glenn, Retno Setyowati, pemilik Foody Dollys, tertarik membuat boneka berbentuk kue lantaran melihat adanya peluang dari boneka jenis ini. Kebetulan, ia memang ingin menggeluti usaha pembuatan boneka. “Belum banyak produsen boneka yang membuat boneka jenis ini, karena saya lebih banyak melihat boneka  binatang atau bentuk mirip manusia,” jelasnya.

Beragam bentuk boneka makanan yang dibuat Retno, seperti burger, hotdog, rainbow cake, tiramisu. Retno juga membuat menu fast food, seperti boneka ayam goreng lengkap dengan kentang goreng. Selain membuat boneka berbentuk kue dan makanan, Retno pun membuat boneka edukasi lain, seperti boneka angka, huruf, dan boneka bunga.

Dalam sebulan, Retno mampu mengirim 400 hingga 500 buah boneka. Ia pun mengumpulkan omzet berkisar Rp 40 juta hingga Rp 50 juta.

Untung 30%

Usaha pembuatan boneka ini relatif sederhana. Modal yang disiapkan pun bisa sangat fleksibel. Anda bisa memulai dari modal yang ringan. Dua tahun lalu, saat memulai usaha ini, Retno hanya menggunakan dana Rp 2 juta. “Duit itu untuk beli kain dan dakron, karena jahitnya masih menggunakan tangan,” tutur dia.

Bahan baku boneka, yang terdiri dari  kain pelapis luar dan pengisi boneka, gampang diperoleh. Ada berbagai jenis kain yang menjadi material luar boneka. Antara lain, rasfur, velboa, nylex, dan yelvo. Kain-kain tersebut mempunyai karakteristik sendiri, mulai dari panjang dan pendek bulu, tebal tipis kain, dan tekstur kelembutannya. Untuk pengisi boneka bisa dipakai perca dari sisa konveksi, dakron dari serat kapas, atau silikon yang berbentuk bulat kecil.

Retno mendapatkan bahan baku dari berbagai pemasok atau pabrik kain. Untuk pelapis luar boneka, ia memakai kain dari jenis yelvo. “Kualitas kainnya lebih baik,” kata dia.

Bahan kain ini merupakan produk impor dengan bulu yang pendek tapi terasa sangat halus dan elastis. Untuk kain dengan corak-corak yang unik, ia pun memburunya di sentra-sentra kain. Dalam sebulan, Retno memakai sekitar 200 m² kain dan 100 kg dakron. Harga kain berkisar Rp 36.000–Rp 40.000 per m². Adapun harga dakron berkisar Rp 36.000 per kg.

Saat ini, Retno mempekerjakan 10 orang karyawan. Mereka terbagi dalam beberapa bagian, seperti tenaga potong pola, penjahit dengan mesin, penjahit dengan tangan, dan tenaga untuk memasukkan dakron.

Selain mempunyai workshop sendiri untuk mengerjakan berbagai boneka, produsen boneka juga bisa mengalihkan produksi ke pihak lain. Seperti yang dilakukan Glenn, yang menyerahkan produksi kepada pihak ketiga. Ia hanya membuat desain berbagai boneka jajan pasar.

Glenn menyerahkan pembuatan ke pihak ketiga untuk meminimalkan risiko. “Saya pilih pihak ketiga yang benar-benar paham soal jahit-menjahit,” ujar Glenn yang memulai usahanya dengan modal Rp 10 juta. Ia membayar Rp 20.000-Rp 30.000 sebagai ongkos jahit untuk satu boneka jajan pasar.

Dalam memasarkan boneka ini, tentu butuh kejelian. Sebagai langkah awal, mungkin Anda bisa menitipkan ke toko-toko boneka atau mainan yang kini banyak bertebaran. Untuk mendongkrak penjualan, Anda bisa membuat website atau situs. Di situs tersebut, Anda bisa memancing agen atau reseller yang akan ikut menawarkan boneka Anda ke konsumen.

Dulu, Glenn pun cukup terbantu berpromosi karena dia aktif dalam kegiatan mendongeng di sekolah-sekolah. Namun, ia juga tak lupa membuat situs. “Dari situs, banyak orang yang tertarik untuk menjadi agen atau reseller,” katanya.

Sedangkan Retno banyak menuai promosi dari mulut ke mulut. Mengawali usaha dengan produksi yang terbatas, Retno menjual produknya ke teman-teman kantor suaminya. Setelah mengantongi cukup modal, ia membuka workshop di pinggir jalan. “Banyak yang suka dan beli di workshop,” ujar dia.

Selebihnya, Retno rajin mengikuti pameran, baik di kawasan perumahannya hingga pameran di pusat-pusat belanja. Kini, Retno juga mulai menawarkan lewat situs. Seperti halnya Glenn, ia menuai banyak penjualan dari agen dan reseller

Keuntungan yang bisa diperoleh dari pembuatan boneka makanan atau kue ini lumayan besar. Baik Glenn maupun Retno kompak bersuara, untung yang bisa dibawa pulang lebih dari 30%. Untung bisa lebih besar, jika Anda rajin menciptakan model-model baru. Maklum, model boneka ini juga rentan ditiru.

Kreativitas pun menjadi salah satu kunci yang membuat usaha boneka edukasi ini berhasil. Anda pun harus memastikan, model-model boneka yang akan diproduksi akan mempunyai banyak penggemar. “Saya sampai survei ke tetangga dan orang-orang sekitar untuk mengetahui berbagai jenis roti, kue, atau makanan lainnya yang sedang disukai pasar,” terang Glenn yang kebetulan juga seorang desainer grafis.

Maklum, ragam makanan terus mengalami perkembangan. Selain rajin melakukan survei, tak ada salahnya Anda jalan-jalan ke pusat-pusat perbelanjaan untuk mengetahui tren. Bila ingin mengikuti perkembangan kuliner, Anda juga bisa melihat di berbagai majalah yang membahas kuliner ataupun bakery.

Anda juga bisa menggali ide dari browsing di dunia maya. Di internet, Anda bisa update apa saja roti atau cake yang sedang naik daun.